Buat Apa Sedih ?ARTIKEL

Jul 13, 2008 11:31 oleh Admin
Memang belum pernah terjadi (setidaknya yang saya tahu), isteri saya tidak lulus suatu mata kuliah. Sejak kecil ia juara kelas. Kalaupun tidak nomer satu, ya masuk tiga besar lah. Kalau ketemu dengan teman-teman SMA atau kuliah dia, sering reputasinya itu disebut-sebut. Karena 'disibukkan' oleh saya, disertasi doktoralnya menjadi tertunda lama. Ketika saya nikahi, ia sudah lulus preliminary exam untuk S3, padahal waktu itu ia cuma mendapatkan beasiswa S2 di University of California-Davis. Sempat pula mendaftar di FE-UI untuk menulis disertasi, namun sekali lagi 'kesibukannya' menyebabkan tulisan tidak lahir-lahir.
 
Sekarang ia mendapat beasiswa Australian Leadership Award untuk melanjutkan Ph.D di Australian National University -- perguruan paling 'top' di Australia. Di sinilah, ia mendapat pengalaman itu. Ia tidak lulus mata kuliah Ekonomi Mikro. Padahal, ia pernah mengajar mata kuliah itu di Indonesia.
 
Seorang temannya terheran-heran, karena begitu hasil ujian diumumkan dan isteri saya tidak lulus, isteri saya tenang-tenang saja, bahkan cengengesan, tertawa-tawa, bercanda seperti biasa.
 
"Ti, kok eloe nggak lulus malah ketawa-tawa sih ?", ujarnya kepada isteri saya.
 
"Yahhh ... sekarang kalo gue sedih, tetep aja gue nggak lulus kan ?. Gue malah bersyukur karena berarti masih bisa belajar Ekonomi Mikro sampai tahun depan. Itu berarti penguasaan gue bisa makin dalem ...", jawab isteri saya.
 
Sebagai manusia biasa, sudah tentu setiap orang merasa kecewa tidak 'langsung' lulus ujian. Ini wajar dan normal-normal saja. Kalau seseorang tidak 'sadar', maka alam bawah sadarnya (emosi) akan mengambil alih peran pikiran sadar. Ini disebut dengan pembajakan emosi atau pembajakan amigdala. Tergantung pengalaman masa lalu dia dan cara berpikirnya, bisa saja ia melabel dirinya gagal. Padahal yang terjadi adalah apa yang ia kerjakan hasilnya belum sesuai harapan saja. Dirinya bukan gagal. We are more than our behavior.
 
Kalau sudah menyadari adanya kemungkinan sabotase dari emosi, toh kalaupun sedih dan menangis meraung-raung juga tidak mengubah keadaan, maka seseorang yang sudah terprogram otomatis untuk melihat ke depan akan menafsirkan pengalamannya itu sebagai keadaan yang percuma untuk diratapi, sekaligus merupakan feedback untuk tidak melakukan hal yang sama karena akan menghasilkan hal yang sama juga. Ia tidak mau dikendalikan oleh emosi. Ialah yang mengendalikan emosi. Ia kemudian berpikir, bagaimana caranya ke depan mencapai seperti yang diharapkan.
 
Sekarang gantian saya sedang akan dibajak amigdala, karena isteri saya tinggal seminggu lagi berada di Jakarta. Minggu depan ia kembali ke Canberra untuk menempuh pendidikan selama tiga setengah tahun lagi ... Seandainya sahabat saya Ira Maya tahu emosi saya saat ini, ia akan mengulangi nasihat saya kepadanya : Acceptance ... ***