Gratisan bisa sukses ?ARTIKEL

Feb 19, 2009 06:33 oleh Admin

"Bozz ... seminar ente ada biayanya nggak ?", salah seorang kawan bertanya.
"Ya ada lah ...", jawab saya.
"Wahhh ... ntar aja kalo udah gratis yeee", katanya.

Seorang kawan lainnya juga bilang dalam sms-nya, "Ama temen gratis dong ...".
"Diskon 100% ya bro' ..", sms lainnya masuk.

Itu adalah sebagian dari lebih banyak lagi orang yang saya kenal berharap (dan meminta) mereka bisa mengikuti workshop saya tanpa bayar.

Sebagai binatang ekonomi, permintaan-permintaan itu tentu wajar-wajar saja. Doktrin pelajaran Ekop (Ekonomi dan Koperasi) masa SMP dan SMA adalah 'manfaat maksimal, pengorbanan minimal'. Kalau teman-teman saya tadi malah 'pengorbanan maksimal, tanpa pengorbanan sama sekali'. Bagi saya lebih wajar lagi karena dalam kamus saya, itulah ciri-ciri orang yang tidak sukses.


Buat mereka yang menyadari adanya keinginan sukses (dan apa yang ada dalam alam pikir bawah sadarnya, itu yang akan mewujud menjadi kenyataan), mereka juga tahu menyadari akan keikhlasan untuk berkorban. Sukses itu dengan pengorbanan. Jer basuki mowo beo. Tidak ada suatu sukses-pun tanpa pengorbanan.

Ketika issue peminta gratis ini saya bincangkan dengan Pak Hari Subagya, trainer yang saat itu ilmunya sedang saya 'download', Pak Hari biasanya mengatakan "Bayar aja penuh dulu, nanti saya kembalikan 100%".

Saya bilang ke Pak Hari, bahwa saya telah menjawab permintaan gratis itu dengan, "Saya bukannya tidak bisa memberi gratis, tapi tidak mau. Kalau saya mau beri gratis, saya akan beri karena saya mau, bukan karena ada yang minta. Saya ingin anda sukses. Ada nggak sih orang sukses tanpa pengorbanan ?. Uang yang anda bayarkan untuk mendapat ilmu itu hanyalah simbol dari besarnya pengorbanan anda. Makin kuat keinginan anda sukses, makin sanggup anda membayar harganya. Kalau anda membayar, maka proses menanam ada dalam genggaman anda. Buah sukses yang dihasilkan sepenuhnya hak anda. Tapi kalau anda ingin buah tapi tidak mau menanam, maka pohon kesuksesan tidak berada di genggaman anda. Kesuksesan tidak berada dalam kontrol anda. Anda menunggu belas kasihan dari orang lain yang punya buah agar mau berbagi untuk anda". Panjang bukan khotbah saya lewat sms ini ?

Lain waktu, saya berbalas comment di facebook dengan provokator bangkotan Prie GS. Yang saya sukai dari Mas Prie adalah bahasanya yang benar-benar lugas dan mantap. Pernah ia menulis status, dia menyukai sambal buatan sang isteri karena pedasnya brutal. Ia menamakan sambal itu dengan 'sambal iblis'.

"Mas, mbok aku dikirimi bukunya, biar pinter", katanya.

Saya yang sudah lama mengagumi Mas Prie lalu memanfaatkan momen ini untuk melakukan manuver politik agar bisa bertemu langsung dengan beliau dan tukar-tukar pendapat (siapa tau bisa juga tukar pendapatan). Tapi pelajaran yang saya dapat adalah bahwa politik praktis yang rumit-rumit itu kalah oleh kesederhanaan esensial. Saya menjawab :

"Wah, lha wong saya ini justru belajar dari Mas Prie. Pak Fachri saja bilang kalau saya ini Mas Prie versi muda (mohon kata 'muda' ini diterima dengan ikhlas). Jadi siapa sebenarnya yang jadi gurunya ? Sebaiknya ijab kabul penyerahan buku ini pas Mas Prie lagi di Jakarta saja, sambil kongkow-kongkow minum teh (karena saya tidak ngopi)".
Mas Prie langsung membalas lagi, "Alahhh, sampeyan itu cuma diminta ngirim buku kok banyak alasan .." ***