Jadi Wong Cilik Tidak Usah SombongARTIKEL

Feb 18, 2008 07:17 oleh Admin
”Selamat siang Pak. Nanti saya lewat kantor Bapak. Boleh saya mampir ? Sibuk tidak ? Saya bawa oleh-oleh dari Solo”, begitu bunyi SMS seorang teman yang pernah saya bantu memecahkan persoalannya.
 
Saya balas SMS dia, mohon maaf saya sedang melayat dan baru kembali menjelang sore.
 
Ia kemudian bertanya lagi, kapan kira-kira ia bisa datang ke kantor saya. Saya membuka agenda elektronik di ponsel, dan menemukan jadwal saya memang penuh dua hari ke depan. Semuanya high priority. Kemudian menjawab dia bisa datang tiga hari lagi.
 
Ia lalu mengirim sms balasan, ”Terimakasih Bapak Ketua atas kelonggaran waktunya untuk saya ’kawulo alit’ seperti saya, yang cuma ’sales’”.
 
Ia memang bekerja di induk perusahaan saya sebagai agen asuransi jiwa. Saya tahu, SMS balasan itu cuma bercanda. Namun begitu, mumpung ada kesempatan, saya lantas memprovokasi dia dengan mengolah kalimat SMS terakhirnya.
 
Setidaknya ada tiga hal yang menarik perhatian saya. Pertama, dia senang karena mendapat waktu dari saya. Ini normal-normal saja. Kedua, kata ’cuma sales’ (pekerjaan seorang agen asuransi adalah menjual asuransi) cukup mengusik saya karena itu berarti meletakkan profesi agen/sales pada posisi yang ’cuma’ alias tidak besar nilainya. Padahal, di luar negeri profesi ini dijuluki ’holy angel’ (malaikat suci) dan termasuk profesi berpenghasilan tertinggi.
 
Ketiga, dia memberi label dirinya sendiri kawulo alit alias wong cilik yang berarti dia telah menempatkan posisi dia inferior terhadap saya. Apalagi waktu mengucapkan disertai perasaan ’rendah’. Itu berarti dia telah memutuskan nasibnya sendiri, yaitu menjadi wong cilik.
 
Kalau seseorang sudah memutuskan di bawah sadarnya menjadi wong cilik, keputusan itu menjadi blueprint mental dimana segala tindakannya ujung-ujungnya mengarahkan nasibnya sesuai dengan blueprint mental tadi, yaitu wong cilik. Terus, Kapan jadi ’wong gede’-nya ?
 
Kalimat itu saja sudah cukup kuat membentuk tindakan dan nasib kita. Apalagi kalau label yang kita berikan sendiri kepada diri kita kita omongkan ke publik. ”Aku ini wong cilik lho ..” ; ”Hidup wong cilik! ..”, ”Partainya wong cilik” ... Maka sempurna sudah nasib kita tetap jadi ’wong cilik’. Kok bisa begitu ? Karena begitu kita omongkan, keluhkan, gosipkan, bahkan diskusikan, dia tanpa disadari bisa masuk ke gerbang keyakinan (belief), bahwa memang saya ini orang kecil. Padahal, kita akan mengalami apa yang kita yakini. Pernahkan anda akhirnya beli mobil atau punya rumah atau naik haji meskipun gaji anda di atas kertas tidak mencukupi ? Itu hasil dari keyakinan dan fokus.
 
Lebih ’parah’ lagi, seringkali status wong cilik ini kemudian dijadikan identitas, tameng, dan berubah menjadi baju kesombongan. Lho, bagaimana kesombongan wong cilik itu ? Yaitu dengan membedakan diri dari orang yang dianggapnya ’wong gede’ (orang besar). Kalau merasa ’tersinggung’ dengan ’wong gede’ lalu berkata ”reseh nih orang, mentang-mentang orang kaya...”.
 
Wong cilik yang ’sombong’ juga seringkali menempatkan diri ’berseberangan’ dengan ’wong gede’, ditambah menggunjing ’wong gede’. Kalau ada ’wong gede’ mau ikut bergabung, dicurigai dan kadang-kadang ditambah prasangka ”wah, mau pamer apa orang ini ?”.
 
Lho, itu ’kan cuma ‘oknum’. Begitu biasanya pembelaan mereka yang merasa dirinya beridentitas dan berkeyakinan ’wong cilik’. Saya setuju.
 
Inilah akibat kita memandang orang sebagai human doing. Artinya, kita membeda-bedakan orang berdasarkan tampilan dan perbuatannya. Ohh ini orang kaya, silakan duduk di depan .. Ohh ini orang miskin, silakan duduk di belakang. Ohh ini karyawan berprestasi, silakan duduk di VIP. Karyawan biasa, duduk di festival. Salahkah ? untuk konteks tertentu tidak salah asal dipandang sebagai ’permainan belaka’. Hitung-hitung memberi ’hiburan’ kepada mereka yang berbuat sesuatu yang dihargai oleh masyarakat atau komunitas setempat. Toh, status itu tidak bakal langgeng.
 
Memandang orang sebagai human being agak beda. Yang ia ‘anggap’ dan lihat adalah kemakhlukannya, kemanusiaannya. Bahwa yang ada di hadapan kita adalah mahluk ciptaan Dia. ada ruh-Nya di dalamnya. Kalau kita melihat Dia di balik dia, tentu kita akan menghargai dan menghormati dia. Rasanya sama dengan ketika anda baru punya bayi atau keponakan baru. Ketika kita gendong bayinya, lalu sang bayi pipis, apakah kita marah ? Kemungkinan besar tidak. Kebahagiaan akan kehadiran ‘being’ mengalahkan ‘doing’ sang bayi.
 
Sebaliknya, memandang diri juga sebagai human being dulu, bukan human doing. Artinya, kalau kita jadi petinggi, sarjana, top sales, star employee, tidak usah petentang-petenteng. Jabatan dan label itu tidak lama. Tidak usah sok tinggi sehingga tidak mau melakukan tugas-tugas ‘rendah’.
 
“Jadi kawulo alit jangan sombong lho, dengan menyebut-nyebut diri kawulo alit dan membedakan diri dengan kawulo ‘ageng’, hehehehe”, begitu SMS balasan saya kepada Bu Nyai -- sebutan saya untuk teman saya itu.
 
Dia lalu menjawab, “Hehehe ..... sampai tidak bisa berkata- kata ...”***