Ketidaktahuan Bukan Berarti KebodohanARTIKEL

Jan 28, 2008 07:33 oleh Admin
Jalan menuju Gunung Bromo ditutupi kabut. Jarak pandang ke depan hanya 20-30 meteran. Di tengah hujan rintik, dibantu dengan pengetahuan safety driving, saya mengemudi mobil tenang. Saya mengejar waktu untuk segera sampai di Hotel Bromo Permai I untuk memberi pelatihan subconscious mind programming. Ketika melihat ke arah ke kiri dan kanan, saya tidak bisa melihat pemandangan selain kabut putih. Serasa sedang meluncur di atas awan.
 
Keesokan paginya, saya meninggalkan hotel dengan cuaca yang bersahabat. Udara dan cahaya sama-sama bening. Sempat dua kali saya berhenti untuk memotret pemandangan dinding dan puncak gunung yang diselimuti pepohonan hijau segar. Tiba-tiba jantung saya berdegup kencang saat melintasi jalan yang kemarin saya lewati. Ternyata ada ruas jalan yang sempit, dan di kiri-kanannya jurang yang dalam. Seketika, saya langsung memperlambat laju kendaraan, dan berkonsentrasi penuh dengan manuver yang saya lakukan.
 
Yang membuat saya berkeringat dingin bukanlah apa yang saya hadapi sekarang, tapi membayangkan apa yang telah saya lakukan kemarin. Seandainya saya tahu di kiri dan kanan jalan ada jurang yang dalam, tentu saya tidak bermanuver dan melaju dengan kecepatan seperti kemarin. Ketenangan saya kemarin dibantu oleh ketidaktahuan saya akan adanya jurang dalam tersebut.
 
Seorang sahabat menemukan file foto-foto ’heboh’ suaminya dengan selingkuhannya. Foto-foto itu ditemukan setelah skandal ini terkuak beberapa bulan sebelumnya. Saat foto-foto itu ditemukan, ia dan suaminya sedang melewati masa recovery. Sang suami telah menyatakan keinsyafannya.
 
Temuan itu membuat luka lamanya terkuak kembali. Dengan suara bergetar menahan emosi, ia meminta pendapat saya, apakah perlu menanyakan kepada suaminya tentang foto-foto itu. Saya menjawab, ”Memangnya kalau kamu bertanya kepada suamimu, ada dampak positifnya pada proses recovery rumah tanggamu ? Akan mengubah sejarah ?”.
 
”Tidak sih”, katanya.
 
”Menurutmu, itu foto baru-baru ini, atau foto lama waktu dia masih lengket sama selingkuhannya ?”, tanya saya lagi.
 
”Kelihatannya foto waktu dulu belum ketahuan”, jawabnya.
 
”Seandainya suami kamu cerita tentang foto itu, apakah keadaannya makin baik, atau justru tersedot lagi ke penderitaan masa lalu ? Bukankah foto-foto itu adalah kejadian sebelum dia mengaku insyaf ?”, giring saya.
 
”Iya sih, jadi sebaiknya tidak usah tanya ya ?”, tanya dia lagi.
 
Saya jadi ingat ada firman Tuhan yang berbunyi ”Janganlah kamu menanyakan sesuatu yang sekiranya jawabannya dibukakan bagimu, kamu akan mengalami kesusahan” (QS 5 : 101). Kabut di Gunung Bromo telah menutup informasi mengenai keadaan wilayah yang sesungguhnya. Namun ketiadaan informasi itu justru membuat saya lebih tenang berkendara kemarin.
 
Namun begitu, masalah ’kabut’ ini tidak sembarangan diterapkan dalam semua situasi. Konteksnya adalah menyangkut bagaimana kita mengelola informasi. Informasi yang tidak perlu karena tidak bermanfaat terhadap pencapaian tujuan bisa tidak perlu diketahui supaya hidup kita menjadi lebih efisien. Dalam kasus saya, saya melihat jalan yang akan saya lewati dan kemampuan saya dalam mengemudi secara safe. Itu sudah cukup. Dalam kasus sahabat saya tadi, ia telah menaruh fokus perhatian kepada ’what next’, yaitu bagaimana membangun kembali rumahtangga mereka dengan pakem dan skenario baru, sehingga informasi masa lalu tidak perlu lagi dikorek-korek. Mubazir.
 
Danny sahabat lama saya meluncurkan kalimat yang ’manis’ tentang masalah ini, ”Ketidaktahuan bukan berarti kebodohan. Ketidaktahuan kadang menyelamatkan kita” .***