Kita sendiri yang memilihARTIKEL

Sep 20, 2008 10:38 oleh Admin
Sebenarnya sudah lama saya menahan untuk tidak menulis cerita ini di blog ini. Bukan apa-apa. Cerita ini saya dengar dari Gede Prama bertahun-tahun silam, dan dalam beberapa kesempatan mendengar talk show di radio yang menampilkan narasumber paten, cerita ini diulang-ulang. Dalam pikiran saya, cerita ini mungkin sudah terkenal. Tapi yang bikin saya heran, setiap kali saya tanya peserta training, mereka hampir tidak pernah mendengar. Kalaupun ada, paling satu-dua saja. Inilah yang membuat saya akhirnya memutuskan sekarang menulis cerita ini. Semoga pahala dari kebaikan cerita ini mengalir kepada narasumber-narasumber sebelumnya, khususnya Pak Gede Prama, sang penutur kejernihan Indonesia.
 
Cerita ini tentang 'tahi sapi'. Pernah dengar ? Begini, suatu pagi anda bangun pagi dan ingin keluar rumah menghirup udara segar. Seminggu sebelumnya anda begitu sibuk dan hari itu anda beruntung tidak ada acara apa-apa. Begitu anda melewati pintu kamar tamu, sejenak anda berdiri di beranda depan, tiba-tiba anda mencium bau tidak sedap. Anda mencari-cari bau apa itu, dan menemukan di pojok teras depan rumah anda, ada karung berisi tahi sapi, ada label pengirimnya, yaitu nama tetangga di ujung jalan. Tetangga itu memang jarang berkomunikasi dengan anda, malah boleh dikatakan 'cuek'. Tidak ada hujan tidak ada angin, di teras rumah anda ada tahi sapi, padahal anda ingin merasakan fresh-nya udara pagi. Bagaimana perasaan anda ?. Boleh jadi anda marah karena pagi-pagi sudah ada orang yang cari perkara, lalu anda menyeret karung tahi sapi itu ke rumah sang pengirim. Anda panggil dia keluar, dan begitu dia keluar anda damprat. Apa hasilnya ? Permusuhan.
 
Tetangga sebelah rumah anda, punya nasib yang sama. Begitu ia keluar rumah pagi itu, di teras rumah dia ada sekarung tahi sapi dengan pengirim yang sama, yaitu tetangga ujung jalan. Tetangga sebelah rumah anda diam sejenak, dan melihat ke halaman rumahnya. Ia bergumam dalam hati, "Wah, sekarang musim kemarau, pohon-pohon dan tanamanku kering. Wah, tahi sapi ini bagus sekali buat pupuk. Baik sekali tetangga ujung jalan, pagi-pagi sudah kasih hadiah yang aku perlukan...". Seandainya anda menjadi tetangga sebelah rumah anda, kalau anda berpikir seperti itu, bagaimana perasaan anda ? Mungkin anda senang. Apa yang akan anda lakukan ? Mungkin minta tolong isteri membuatkan opor ayam. Lalu dengan rantang, anda datang ke rumah tetangga ujung jalan, dan memberi rantang tadi ke dia sambil mengucapkan terimakasih. Apa hasilnya ? Persahabatan.
 
Sekarang kita lihat. Tahi sapinya sama bukan ? yang satu merasa bete, yang satu lagi merasa senang ? Yang satu menyeret-nyeret karung tahi sapi ke tetangga ujung jalan, sementara yang satu lagi membuat opor ayam ? Yang satu hasilnya permusuhan, yang satu lagi persahabatan. Masalahnya ada dimana ? Di tahi sapi ? Bukan!. Masalahnya bukan di tahi sapi, melainkan di bagaimana pikiran anda melihat -- menganggap -- memaknai -- menafsirkan -- mengartikan tahi sapi itu sebagai apa. Kalau anda mengartikan -- melihat -- tahi sapi itu sebagai penghinaan, OTOMATIS anda merasa marah (perasaan negatif), OTOMATIS anda melakukan tindakan destruktif -- anarkis (nyeret-nyeret tahi sapi dan mendamprat), OTOMATIS hasilnya kerugian -- mudharat. Kalau anda menafsirkan tahi sapi itu sebagai hadiah/anugerah, OTOMATIS perasaan anda positif -- senang, OTOMATIS yang anda lakukan konstruktif (bikin opor ayam), OTOMATIS hasilnya persahabatan. Jadi, biang keladi hasil yang anda dapatkan adalah terletak di pikiran anda sendiri, yaitu bagaimana anda mengARTIkan suatu kejadian. Respon kita bukan berasal dari kejadiannya (stimulus), tetapi dari tafsir kita sendiri terhadap kejadian itu.
 
Di sini terlihat ada rumus : ARTI menentukan PERASAAN, lalu menentukan TINDAKAN, lalu menentukan HASILnya. What you see is what you feel is what you do is what you get. Kalau program worksheet LOTUS jaman dulu ada istilah WYSWYG .. what you see is what you get. 
 
Sekali lagi ya. PIKIRAN (ARTI) --> PERASAAN --> TINDAKAN --> HASIL
 
Di sini tampak sebenarnya kita punya KEBEBASAN MEMILIH arti. Kita sendirilah yang membuat diri kita tidak bebas dengan membiarkan kita OTOMATIS terikat untuk memilih suatu arti berdasarkan pengalaman masa lalu, doktrin lingkungan, mitos-mitos, teori-teori lama, dan seterusnya. Kalau ditolak prospek, berARTI gagal. Kalau diputusin cinta berARTI kalah. Padahal kalau ditolak prospek anda dapat banyak ilmu. Kalau anda mengartikan stimulus (kejadian) seperti itu, bagaimana perasaan anda ? .. lalu apa yang akan anda lakukan ? .. dan kira-kira apa hasilnya ?
 
Kalau diputusin cinta bisa jadi berarti anda diselamatkan. Kalau belum dipromosi jabatan, jangan-jangan berarti anda diselamatkan dan diberi kesempatan memperbesar otot kompetensi, sikap, dan motivasi, biar nanti jabatan jadi anugerah, bukan penderitaan karena anda ditertawakan lingkungan. Kalau duit anda tiba-tiba habis untuk biaya pengobatan, mungkin sekali berarti Tuhan Maha Baik Maha Sayang. Wong Dia tahu anda perlu berobat, anda dikasih dulu duitnya. Bukankah Tuhan melakukan performance appraisal kepada kita berdasarkan personal record dari Malaikat Raqib dan Atid adalah bukan berapa banyak harta yang dikumpulkan ? Tapi dari mana harta tadi dan dipergunakan untuk apa ?. Banyaknya harta tidak menambah aktiva pada neraca pahala-dosa.
 
Kalau di Islam, ayat pertama dari Al-Qur'an adalah "Iqra, bismirobbikalladzi kholaq". Artinya, "Bacalah ! dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan". Artinya, kalau mau selamat dunia akhirat, waktu kita membaca -- melihat -- mengartikan -- pakai saja sudut pandang Sang Pencipta dunia ini.
 
Lha kok malah kultum ? .... Wallahu a'lam. Hanya Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Benar... ***